Menjadi Suami Setia | Apa yang harus dilakukan seorang laki-laki untuk jadi suami yang setia pada istrinya? Apa ia harus selalu hangat dan dekat? Apakah dalam hatinya harus ada cinta yang senantiasa indah seperti saat pertama kali saling jatuh cinta? Atau ia sekedar harus memastikan tidak ada wanita lain yang mengisi hatinya?
Apakah tanda kesetiaan itu berupa cinta yang diekspresikan setiap hari ? Atau berupa kerinduan dan keterpesonaan ? Ataukah setia itu berarti cintanya tunggal tidak terbagi ? Atau setia itu hanya nyata jika ia rela melakukan apapun demi menyenangkan hati istrinya ? Atau lima hal itu seluruhnya digabung tanpa dikurangi ? Apakah berarti ia harus menjadi laki-laki yang selalu sedang jatuh cinta, dengan cinta yang selalu indah, sambil teguh menjaga janji “hanya engkaulah wanita satu-satunya dalam hidupku” ?
Apakah esensi pernikahan adalah kisah ikatan cinta abadi antara dua manusia yang begitu indah dan telah sampai pada puncaknya?
Justru karena baginya cinta yang ini sudah tidak lagi indah dan menyenangkan. Fakta bahwa istrinya telah mencintai dan berkorban begitu banyak untuknya pun ternyata tak lagi cukup untuk membuatnya tetap mau memperjuangkan pernikahan. Ada yang merasa sudah membalas semua cinta dan kebaikan istrinya dengan kerja kerasnya atau dengan pengorbanan yang juga dia lakukan, sehingga baginya semua sudah lunas dan ia bisa pergi.
Bagaimana dengan janji “engkaulah satu-satunya wanita dalam hidupku” ? Di jaman ini banyak laki-laki yang ‘masih setia’ menjaga janji ini, tetapi tak lagi mengisinya. Memang tidak ada wanita lain, tapi dia pun tidak lagi tertarik untuk berperan dalam keluarga. Banyak lelaki yang masih memberikan semua kesenangan yang diminta istrinya, tetapi sudah tidak lagi berperan dalam pernikahan itu.
Pernikahan yang hanya diniatkan sebagai puncak kisah cinta memang hanya akan berpusat di sekitar perasaan-perasaan itu. Tentang cinta, rindu, keterpesonaan, keinginan untuk selalu bersama, tentang saling memiliki, dan tentang “yang satu-satunya”. Pernikahan menciut jadi sekedar “janji untuk saling mencintai, saling memiliki dan selamanya berdua demi memelihara kisah cinta kita”. Jelas itu sama sekali tidak cukup untuk jadi sumber energi pernikahan. Perjalanan pernikahan yang panjang sangat bisa mengikis energi dan keindahan kisah cinta itu. Dan ketika itu terjadi, tidak sedikit pernikahan yang bertahan hanya dengan prinsip “yang penting dia tetap suamiku, dan aku satu-satunya wanita dalam hidupnya”, atau “yang penting aku masih menafkahi istriku”. Bahkan, tidak sedikit yang merasa kehilangan alasan untuk setia. Lalu memilih pergi.
Tidak dibutuhkan alur cerita yang panjang dan indah untuk sepasang manusia bisa sampai ke gerbang pernikahan. Tidak harus ada alur cerita cinta yang romantis sejak awal perkenalan hingga ingin hidup bersama. Tidak perlu ada hasrat, keterpesonaan, dan kisah cinta. Pernikahan bukanlah sebuah kemasan teologis untuk sekedar menyalurkan hasrat biologis dan mengisi kekosongan psikologis.
Pernikahan adalah sebuah ibadah, yang misinya, tujuannya, dan tuntunannya, sudah jelas. Itulah mengapa, selama niat dan tuntunannya dijalankan dengan benar, maka Allah akan memungkinkan sepasang lelaki dan perempuan yang baru saling mengenal melalui ta’aruf yang singkat untuk langsung menikah dan bahagia dalam pernikahannya.
Dalam pernikahan sebagai ibadah kepada Allah, peran seorang lelaki adalah membawa ketulusan untuk memimpin, menanggung, dan senantiasa membawa kebaikan ke dalam keluarga yang Allah amanahkan kepadanya. Oleh karena itu, seorang suami yang setia adalah laki-laki yang bisa menjaga konsistensi dan kesungguhan untuk memenuhi misi suci pernikahan sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah.
Seorang suami yang setia bukanlah sekedar yang setia pada perasaan istrinya. Lebih dari itu, dia adalah laki-laki yang setia kepada Allah, dan kepada komitmen besar pernikahan yang telah ia terima dari Allah. Dia akan selalu membawa kebaikan ke dalam hidup istrinya karena dia pun selalu mengisi hidupnya hanya dengan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan padanya. Dia setia kepada istrinya karena dia setia kepada Tuhannya, dan pernikahan sebagai salah satu anugrah terbesar yang pernah dia minta dari Tuhannya akan selalu dijaga dan disyukurinya dengan sebaik-baiknya. Seorang laki-laki yang menjalankan pernikahan sebagai sebuah ibadah, dia akan memperjuangkan istrinya karena dia memperjuangkan agamanya, ia akan memelihara istrinya sebagaimana dia memelihara imannya.
Dan pernikahan yang dijalani sebagai ibadah ini, sungguh berisi kebahagiaan dan keindahan yang sejati. Seberapapun indahnya cinta sepasang manusia yang pernah anda baca di novel atau kisah apapun, itu semua tidak sebanding dengan kebahagiaan dan keindahan pernikahan yang dijalani sebagai ibadah. Dalam pernikahan yang dijalani sebagai ibadah, hati setiap orang menjadi begitu bahagia karena yang mengisinya adalah keridhoan dan keberkahan dari Allah, bukan sekedar imajinasi indah yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri.
Esensi pernikahan bukanlah kisah cinta, melainkan ibadah. Itulah mengapa satu-satunya tempat di mana kita bisa mendapatkan gambaran dan tuntunan yang lengkap tentang pernikahan dan keluarga yang ideal adalah di dalam AlQur’an dan Sunnah Rasulullah. Bukan di buku novel, kisah-kisah cinta, atau dongeng-dongeng romantis. Seberapa banyak pun kisah-kisah itu, tidak akan pernah cukup, tidak akan pernah benar.
Jika seorang laki-laki menjalankan pernikahan sebagai sebuah ibadah, maka dia akan memperjuangkan istrinya seperti dia memperjuangkan agamanya, ia akan memelihara istrinya sebagaimana dia memelihara imannya. Ia setia pada istrinya karena ia setia pada Tuhannya. Maka sesungguhnya, kesetiaan dalam pernikahan bukanlah sekedar janji untuk selalu berdua, saling mencintai dan saling memiliki. Kesetiaan seorang suami dalam pernikahan adalah konsistensinya dalam mewujudkan misi pernikahan, konsintensinya untuk selalu memberi dan mewujudkan kebaikan di tengah keluarga, sehingga keluarga menjadi tempat tumbuh bersama untuk menjadi manusia yang paripurna. Hingga hadir bahagia yang penuh berkah itu di dunia ini, dan di akhirat kelak.
Sumber : http://fatherhood.id/
Apakah tanda kesetiaan itu berupa cinta yang diekspresikan setiap hari ? Atau berupa kerinduan dan keterpesonaan ? Ataukah setia itu berarti cintanya tunggal tidak terbagi ? Atau setia itu hanya nyata jika ia rela melakukan apapun demi menyenangkan hati istrinya ? Atau lima hal itu seluruhnya digabung tanpa dikurangi ? Apakah berarti ia harus menjadi laki-laki yang selalu sedang jatuh cinta, dengan cinta yang selalu indah, sambil teguh menjaga janji “hanya engkaulah wanita satu-satunya dalam hidupku” ?
Apakah esensi pernikahan adalah kisah ikatan cinta abadi antara dua manusia yang begitu indah dan telah sampai pada puncaknya?
Kisah Cinta Tidak Pernah Cukup
Pada kenyataannya, rasa cinta dan kenangan indah seringkali tidak cukup untuk terus memotivasi perjuangan dalam pernikahan, terutama setelah datang masa-masa sulit yang penuh guncangan perasaan. Setelah masa itu tiba, untuk sebagian laki-laki, rasa cinta, cerita indah, dan semua kesenangan yang pernah dimiliki berdua tidak lagi cukup untuk jadi pondasi kesetiaan. Di hadapan semua kesulitan itu, semangatnya untuk terus berdedikasi pada keluarga memudar, dan pilihan yang paling mudah dipahami oleh pikirannya adalah pergi.Justru karena baginya cinta yang ini sudah tidak lagi indah dan menyenangkan. Fakta bahwa istrinya telah mencintai dan berkorban begitu banyak untuknya pun ternyata tak lagi cukup untuk membuatnya tetap mau memperjuangkan pernikahan. Ada yang merasa sudah membalas semua cinta dan kebaikan istrinya dengan kerja kerasnya atau dengan pengorbanan yang juga dia lakukan, sehingga baginya semua sudah lunas dan ia bisa pergi.
Bagaimana dengan janji “engkaulah satu-satunya wanita dalam hidupku” ? Di jaman ini banyak laki-laki yang ‘masih setia’ menjaga janji ini, tetapi tak lagi mengisinya. Memang tidak ada wanita lain, tapi dia pun tidak lagi tertarik untuk berperan dalam keluarga. Banyak lelaki yang masih memberikan semua kesenangan yang diminta istrinya, tetapi sudah tidak lagi berperan dalam pernikahan itu.
Pernikahan yang hanya diniatkan sebagai puncak kisah cinta memang hanya akan berpusat di sekitar perasaan-perasaan itu. Tentang cinta, rindu, keterpesonaan, keinginan untuk selalu bersama, tentang saling memiliki, dan tentang “yang satu-satunya”. Pernikahan menciut jadi sekedar “janji untuk saling mencintai, saling memiliki dan selamanya berdua demi memelihara kisah cinta kita”. Jelas itu sama sekali tidak cukup untuk jadi sumber energi pernikahan. Perjalanan pernikahan yang panjang sangat bisa mengikis energi dan keindahan kisah cinta itu. Dan ketika itu terjadi, tidak sedikit pernikahan yang bertahan hanya dengan prinsip “yang penting dia tetap suamiku, dan aku satu-satunya wanita dalam hidupnya”, atau “yang penting aku masih menafkahi istriku”. Bahkan, tidak sedikit yang merasa kehilangan alasan untuk setia. Lalu memilih pergi.
Pernikahan Adalah Ibadah
Dalam kehidupan yang Allah ciptakan dengan MaksudNya yang agung, pernikahan bukanlah tentang kisah cinta. Dalam rancanganNya, pernikahan adalah sebuah ibadah. Ibadah yang besar. Ibadah untuk menumbuhkan sisi spiritual manusia sehingga ia mampu melampaui batas-batas naluri biologis dan psikologisnya. Ibadah yang mengembangkan peradaban dengan menjadikan manusia-manusia dewasanya matang secara paripurna, dan mendatangkan generasi penerus yang baik dari pasangan orangtua yang matang itu.Tidak dibutuhkan alur cerita yang panjang dan indah untuk sepasang manusia bisa sampai ke gerbang pernikahan. Tidak harus ada alur cerita cinta yang romantis sejak awal perkenalan hingga ingin hidup bersama. Tidak perlu ada hasrat, keterpesonaan, dan kisah cinta. Pernikahan bukanlah sebuah kemasan teologis untuk sekedar menyalurkan hasrat biologis dan mengisi kekosongan psikologis.
Pernikahan adalah sebuah ibadah, yang misinya, tujuannya, dan tuntunannya, sudah jelas. Itulah mengapa, selama niat dan tuntunannya dijalankan dengan benar, maka Allah akan memungkinkan sepasang lelaki dan perempuan yang baru saling mengenal melalui ta’aruf yang singkat untuk langsung menikah dan bahagia dalam pernikahannya.
Dalam pernikahan sebagai ibadah kepada Allah, peran seorang lelaki adalah membawa ketulusan untuk memimpin, menanggung, dan senantiasa membawa kebaikan ke dalam keluarga yang Allah amanahkan kepadanya. Oleh karena itu, seorang suami yang setia adalah laki-laki yang bisa menjaga konsistensi dan kesungguhan untuk memenuhi misi suci pernikahan sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah.
Seorang suami yang setia bukanlah sekedar yang setia pada perasaan istrinya. Lebih dari itu, dia adalah laki-laki yang setia kepada Allah, dan kepada komitmen besar pernikahan yang telah ia terima dari Allah. Dia akan selalu membawa kebaikan ke dalam hidup istrinya karena dia pun selalu mengisi hidupnya hanya dengan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan padanya. Dia setia kepada istrinya karena dia setia kepada Tuhannya, dan pernikahan sebagai salah satu anugrah terbesar yang pernah dia minta dari Tuhannya akan selalu dijaga dan disyukurinya dengan sebaik-baiknya. Seorang laki-laki yang menjalankan pernikahan sebagai sebuah ibadah, dia akan memperjuangkan istrinya karena dia memperjuangkan agamanya, ia akan memelihara istrinya sebagaimana dia memelihara imannya.
Dan pernikahan yang dijalani sebagai ibadah ini, sungguh berisi kebahagiaan dan keindahan yang sejati. Seberapapun indahnya cinta sepasang manusia yang pernah anda baca di novel atau kisah apapun, itu semua tidak sebanding dengan kebahagiaan dan keindahan pernikahan yang dijalani sebagai ibadah. Dalam pernikahan yang dijalani sebagai ibadah, hati setiap orang menjadi begitu bahagia karena yang mengisinya adalah keridhoan dan keberkahan dari Allah, bukan sekedar imajinasi indah yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri.
Esensi pernikahan bukanlah kisah cinta, melainkan ibadah. Itulah mengapa satu-satunya tempat di mana kita bisa mendapatkan gambaran dan tuntunan yang lengkap tentang pernikahan dan keluarga yang ideal adalah di dalam AlQur’an dan Sunnah Rasulullah. Bukan di buku novel, kisah-kisah cinta, atau dongeng-dongeng romantis. Seberapa banyak pun kisah-kisah itu, tidak akan pernah cukup, tidak akan pernah benar.
Jika seorang laki-laki menjalankan pernikahan sebagai sebuah ibadah, maka dia akan memperjuangkan istrinya seperti dia memperjuangkan agamanya, ia akan memelihara istrinya sebagaimana dia memelihara imannya. Ia setia pada istrinya karena ia setia pada Tuhannya. Maka sesungguhnya, kesetiaan dalam pernikahan bukanlah sekedar janji untuk selalu berdua, saling mencintai dan saling memiliki. Kesetiaan seorang suami dalam pernikahan adalah konsistensinya dalam mewujudkan misi pernikahan, konsintensinya untuk selalu memberi dan mewujudkan kebaikan di tengah keluarga, sehingga keluarga menjadi tempat tumbuh bersama untuk menjadi manusia yang paripurna. Hingga hadir bahagia yang penuh berkah itu di dunia ini, dan di akhirat kelak.
Sumber : http://fatherhood.id/